7 Oktober 2019. Tanggal kelam, bulan kelam dan tahun kelam
7
Oktober 2019. Tangisan terdengar, bertubi-tubi tak berhenti
7
Oktober 2019. Ya, salah satu belahan jiwa hilang dari muka bumi. Bapak
1
tahun sudah, beliau meninggalkan kami, keluarga kecil yang hidup ditengah desa
yang memiliki segudang kasih sayang dan perhatian. Tidak mudah untuk tidak
mengingat beliau karena setiap hari, setiap jam, setiap menit kami bertatap
muka saling bercengkrama. Ah, ingin menangis rasanya. Hal yang paling di
rindukan dari beliau adalah beliau seorang penyabar, lembut, menenangkan, dan
yang pastinya connect jika di ajak ngobrol. Sifat tegas nya yang sangat
ku takuti membuatku kengen jika mengingatnya. Rasanya baru kemarin aku berbagi
kabar via video call waktu di kos. Saat itu tepat sekitar 1 bulan aku di
Surabaya. Masih ingat juga ketika beliau mengantarkan ku ke stasiun kereta
untuk berangkat menimba ilmu di Surabaya. 1 bulan di Surabaya aku disibukkan
berbagai ospek yang melelahkan. Hingga pada akhirnya aku memiliki kesempatan
untuk pulang.
24
Agustus 2019 , aku berangkat naik kereta dari Surabaya dengan teman sejurusan
yang juga tinggal di Bojonegoro. Tepat pukul 13.00, beliau sudah menungguku di
depan stasiun, aku tidak ingat persis pakaian yang dikenakan namun yang ku
ingat ketika perjalanan pulang aku memandangi rambut yang dipenuhi uban dari belakang. Hatiku bergetar, tidak tahu
mengapa tiba-tiba aku memikirkan hal yang tidak pernah ku pikirkan sebelumnya.
Cepat-cepat aku membuang pikiran itu. Setibanya dirumah, aku bercerita semuanya
kepada beliau, mulai dari aku sakit pas dikos dan berbagai kesibukanku lainnya.
disitulah aku merasa tenang. Beliau selalu mendengarkan tanpa menyela
pembicaraanku. Hal itu yang kusukai dari Beliau.
25
Agustus 2019, aku kembali ke Surabaya. Hari itu, aku dan temanku tidak
mendapatkan tiket kereta sehingga kami berangkat naik bis sore. Sampailah
disurabaya sekitar jam 9 malam karena waktu itu di lamongan tedapat perbaikan
jalan akbatnya macet. Kami juga harus menaiki
angkot sekitar 1 jam dari terminal. Waktu itu, keluargaku menjadi panik karena tiba ku terlalu larut.
Bapak sampai menelfonku hingga meminta saudara yang ada di surabaya untuk
menjemputku. Namun pada akhirnya aku sampai di kos dengan selamat walaupun agak
kemaleman.
Aku
kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan dikampus. Mulai dari ospek yang
cukup lama hingga tugas kuliah yang menumpuk. Masih ingat ketika aku
bolak-balik fotokopian demi mengerjakan tugas ospek, foto satu persatu dengan
teman seangkatan dan itupun harus di cetak lalu di tempel di buku angkatan. Sungguh
melelahkan.
7
September 2019, aku mendengar kabar dari Ibu kalau bapak dilarikan ke
puskesmas. Aku mulai cemas namun tetap berfikir positif mungkin bapak tak lama
akan sembuh. Namun, selang beberapa hari ibu menghubungiku jika bapak dirujuk
ke rumah sakit. Aku langsung kebingungan. Mas ku yang waktu itu masih di malang
menghubungiku untuk mengajak pulang. Aku lupa tepatnya ditanggal berapa, yang
pasti tidak lama setelah mendengar kabar dari ibu, aku dan mas ku langsung
berangkat ke Tuban.
Sekitar
pukul 3 sore, kami (aku dan mas) sampai di RS. Aisiyah Bojonegoro. Diruangan
itu terdapat pakde dan ibu ku. Ketika kami datang, bapak menetaskan air mata,
air mata yang baru pertama kali aku lihat. Aku tipikal orang yang
menyembunyikan kekhawatiranku kepada keluarga. Aku menghampiri beliau tanpa megucapkan
apapun. Hanya memandangi tubuh lemah yang sudah berbaring dikasur. Sampai detik
ini pun aku masih tidak percaya, aku menulis tentang cerita bapakku.
Setelah menjenguk bapak selama beberapa hari, akhirnya aku kembali ke Surabaya untuk mengurus terkait perizinan dan lain-lain. Tak lama kemudian aku pulang lagi dan seketika itu aku melihat bapak sudah tidak sadarkan diri. Kritis. Begitu bahasa medis. Aku langsung menangis ditemani pakde ku saat itu. Pakdeku menyuruhku sabar dan tetap mendoakan bapak. Tubuh bapak sudah dipenuhi berbagai alat medis. Melihatnya saja terasa menyakitkan. Hingga 5 hari, bapak akhirnya siuman. Aku bersyukur mendengar kabar itu dan tidak sabar melihat raut wajah bapak karena aku sudah disurbaya lagi. Setelah siuman, beliau pindah di RSUD. Aku tidak ingat persis beliau diruang apa karena mas dan ibu lah yang paling lama menjaga bapak. Dan itu lah yang aku sesali. Aku tidak berbuat banyak hingga akhir hayat beliau.
Disaat-saat bapak sakit, aku mengalami tekanan mental di kampus. Pikiranku kemana-kemana. Tidak tenang. Masih ingat bagaimana riwehnya bolak balik ke akademik dan bahkan pernah berbohong ke dosen (jangan ditiru :")) untuk mengurus perizinan, sebetulnya aku bisa saja bolos karena ada jatah bolos tersendiri. Namun, pikiran seorang maba waktu itu tidak mau absennya ada keterangan bolos.
6 Oktober 2020. Aku tidak ingat persis apa yang aku lakukan dihari itu. Tapi yang ku ingat, pada malam hari aku sempat video call dengan adikku yang berkunjung ke rumah sakit. Sebelumnya, aku mempunyai firasat yang tidak mengenakkan. Ketika membaca Al-Qur'an, aku menemui ayat yang artinya "setiap makhluk yang hidup pasti akan mati" intinya seperti itu. Baru lah aku menelfon adikku yang kebetulan dia jenguk bapak. Keadaan bapak waktu itu sudah ngedrop alias kritis.
7 Oktober 2020. Hari itu aku uts, tepatnya uts akuntansi dasar. Aku mengerjakan soal dengan mudah. Perasaan ku sangat senang. Belum ada firasat lagi dihari itu. Namun ketika sampai kos, aku mendengar kabar dari mbak ku. Dia mengatakan turut berduka cita kepadaku. Aku langsung shock dan tidak percaya. Aku menangis histeris sampai teman sekamarku tidak tega meninggalkanku untuk berangkat kuliah. Lalu datanglah teman samping kamar dan ibu kos yang menenangkanku. Aku menelfon orang-orang rumah dan bertanya apakah benar kabar tersebut. Beberapa lama kemudian alm. Pakde ku datang dan mengantarku pulang ke tuban. Sesampainya dirumah, aku sudah tidak bisa melihat wajah bapak untuk yang terakhir kalinya karena beliau sudah dikebumikan.
Innalillahi wa innailaihi roji'un.
#7 Oktober 2020
# 22.27 PM
0 comments:
Post a Comment